Cerpen "Rain and Rainbow"

Pelangi butuh hujan untuk menjamah indahnya dunia. Begitu juga hujan, ia butuh pelangi untuk menyicip manisnya dunia dengan warna indah yang mampu menutup semua tangisnya … ”
‘TAP TAP TAP’ derap langkah kaki Liliyana semakin cepat. Hatinya begitu risih sekaligus gusar. Pagi ini dia tak boleh terlambat!
“Huuuuuuuuhhh.. sial banget gue! Harus jalan kaki sejauh ini. Mana disini nggak ada bus.” Umpat Liliyana sembari menendang kaleng bekas minuman bermerek “Pocari Sweat” yang tercecer di jalan.
“Apa manfaatnya coba begini? Masa gara-gara nilai ulangan gue nggak pernah tuntas, mama setega ini sama gue. Nggak diberi uang saku, nggak di kasih sarapan, nggak boleh dianterin, nggak boleh pake kendaraan, dan nggak bolehhh …” Liliyana berfikir sejenak dan memotong umpatannya. Ia segera menggeleng kepala “ehhh… masa bodo. Bodo amat. Emang gue udah bodo. Udah dari dulu kali ah gue bodo.. ehhh nggak!! Gue kan pinter. Sekarang yg terpenting gue bisa sampai ke sekolah dengan selamat sentausa. Gimanapun caranya! Ummmmm” kata Liliyana sambil berfikir keras memeras otak.
Liliyana mengerlingkan kening. Mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh jalan. ‘belum ada satupun bus yang berseliweran disitu’ pikir Liliyana sesaat. “Oh bego! Mana ada bus yang mau lewat gang sekecil ini! Huhhh bego”, Liliyana menepok jidat putih bersinarnya.
Liliyanapun kembali meneruskan langkahnya, ia tiba-tiba teringat dengan Vita. “vita! Iya vita! Kan gue bisa nebeng dia ke sekolah. Oke oke”, tandas Liliyana tersenyum cerah. Di atas kepalanya terpampang lampu bohlam menyala terang. Segera ia merogoh ransel, dan mencari benda mungil yang telah mendarah daging dalam dirinya. Tapi entah kenapa barang itu sampai sekarang belum tertemukan, padahal liliyana sudah berjuang keras mencari hingga ke celah paling dalam.
“Mampus gue. Kan hp gue di sita sama mama.” lagi-lagi Liliyana menepok jidat. Bohlam yang semula terang benderang nangkring di atas kepala liliyana akhirnya kini meredup pelan.
“Terus gue gimana? Masa gue beneran jalan ke sekolah? Aduh udah jam segini lagi. Gimana oh gimanaaaa”
Dengan paksa, akhirnya Liliyana berjalan menyusuri gang kecil itu sampai ke sekolah sambil bersiul menderita.
“Itu siapa ya? Owi bukan? Emm.. aha! Gue nebeng aja ah.”, batin Liliyana. Liliyana mendekat menuju pelataran rumah Owi. Kebetulan owi sedang memanaskan motor hitam metalik nya di luar.
“Heh wi.” Liliyana memegang pundak Owi yang membelakanginya. Owi sontak kaget melihat makhluk tengil di depan matanya. “Duh lo. Ngapain pagi-pagi kesini?”, tanya Owi. teman SD sampai SMA Liliyana.
“Owi.. owi ganteng deh”, goda Liliyana dengan gaya genit yang memang sering dilayangkan ke Owi sejak kanak-kanak kalau ia menginginkan sesuatu.
“Et et.. Ngga usah sok genit deh. Ngga cocok sama lo tau. Jelek.”, balas Owi menjulurkan lidahnya. Wajah putih Liliyanapun merah merona.
“Oh ya, Tumbenan lo jalan? pasti mau nebeng yah? Iya kan?”, lanjut owi.
Liliyana tak menjawab. Ia hanya tersenyum.
“Iya deh gue tau maksud lo.” Owi gemas melihat muka Liliyana. Dicubitnya hidung mancung Liliyana hingga benar-benar merah.
“Paan si lo. Sakit bego”
“Sakit apa …”
“Cepetan wi. Gue gak mau telat!” desak Liliyana. Owi mendekat ke tubuh Liliyana. “Nebeng aja bawel lo” cibir Owi di telinga kanan Liliyana.
“Loh.. Lohh.. Kok gitu si wi? Temen macam apa lo?” jawab Liliyana dengan raut wajah kecewa dibuat-buat.
“Ngambek ciyeeeeee. Haha. Gue tinggal yana ah.”, ledek Owi
“Owi sialan lo! Situ deh gitu banget sama gue. Udah nggak nganggap persahaatan kita ya? Padahal susah banget gue sama lo ngebangun persahabatan ini dari kita masih bayi. Huhhh ” Liliyana sedikit berjalan menjauh dari Owi dengan berat hati dan berat kaki.
“Li .. li .. li .. Tunggu.. Gue becanda tau. Nggak asik banget lo!” Owi meraih tangan Liliyana sambil menahan tawa.
“Yuk ah berangkat.” tawar Owi. Liliyanapun tersenyum cerah.
Gerbang sekolah masih terbuka lebar. Liliyana turun di depan gerbang, sedangkan Owi masuk bersama motornya ke dalam meninggalkan Liliyana.
“Cuy, gue duluan ya.” Owi membuka sedikit kaca helm. Liliyana membalas dengan sekali anggukan. Owi berlalu begitu saja.
Liliyana berjalan menyusuri koridor kelas. “Untung gue punya Owi jadi nggak perlu capek-capek jalan kesini. Huh” gumam Liliyana Lirih.
“Li, lo tadi berangkat sama siapa Li?”, tanya Vita mengagetkan. “Sama Owi ta.”
Vita mensejajarkan dirinya di samping kanan Liliyana. “Owi anak kelas XII, li? Lo kenal?” Vita mengangkat alis sebelah.
“Kenal lah. Itu kan sahabat gue dari bayi.” Jawab Liliyana cekikikan.
“Kok nggak pernah ngomong sama gue kalo lo sahabatan sama dia?”, tanya Vita lagi.
“Penting kali.” jawab Liliyana datar.
“Huuhhhh Lili.” Vita mengacak-acak rambut pendek Liliyana. Reflek Liliyana langsung lari ke dalam kelas diikuti Vita yang mengejarnya.
“eeeeee tunggu jangan lari Li!” teriak Vita seperti anak kecil.
‘TET TET TET’ bel masuk berubunyi. Liliyana dan Vita bergegas mengambil posisi duduk mereka dibarisan keempat dari depan. Atau lebih tepat barisan kedua dari belakang. Ya, mereka memang duduk bersama dari kelas X hingga sekarang, kelas XI.
Pak Ricky, guru Bahasa Indonesia masuk ke kelas Liliyana.
“selamat pagi anak-anak” sapa Pak Ricky ramah.
“Pagi..” jawab murid serempak.
“Hari ini bapak akan memberi kalian tugas wawancara untuk meneliti Bahasa dan dialek di daerah-daerah. Nanti bapak akan membagi kalian menjadi 8 kelompok. 1 kelompok 5 orang dan kelompok yang terakhir harus rela anggota kelompok hanya 3 orang. Ya, sekarang bapak bagi yah kelompok-kelompoknya.” Jelas Pak Ricky
“Siap pak. “
“Oke. Langsung saja. Kelompok pertama : Maria Febe, Dionysius Hayom, Meiliana Jauhari, Muhammad Rijal, dan Debby Susanto. Kelompok kedua : Hendra Aprida, Alvent Yulianto, Maria Kristin, Sony Dwi, dan Markis Kido.”
“dan kelompok terakhir : Vita Marissa, Hendra Setiawan, dan Liliyana Natsir. Baik, itulah kelompok kalian. Silahkan memposisikan duduk mengelompok sesuai dengan yang tadi saya sebut.”, komando Pak Ricky
“Ta ta vita untung kita sekelompok yah. Tapi sialnya kita yang dapet 3 orang. Huhhhh”, Liliyana mengusap wajahnya.
“Ya udah nggak papa Li. Yang penting kita nggak terpisah, kan?”, kata Vita mengangkat kedua alisnya.
“Iya sih, ta. tapi..” belum sempat melanjutkan bicara, Pak Ricky memotong pembicaraan Liliyana.
“Hehhh sudah sudah. Cepat kamu mengelompok sama kelompokmu.” Perintah pak ricky.
“Baik pak!”, sahut Liliyana keras.
Liliyana dan Vitapun mengelompok menjadi satu, tapi ada seseorang yang belum ikut bergabung dengan mereka. Iya, dia Hendra Setiawan! ‘mana sih hendra?’ batin Liliyana mencari hendra ke penjuru kelas.
“Lha itu si hendra. Kenapa dia ngga mau kesini, ta?” Liliyana menyodok siku Vita yang duduk disebelahnya.
“Iya tuh hendra. Biarin aja deh.”, jawab Vita.
Liliyana berusaha memanggil-manggil hendra untuk bergabung bersamanya, tapi Hendra hanya menyelinguk sejenak dan sama sekali tak menggubris Liliyana.
“Hendra!!!! Hendra! Woy hendra dongo! Hendrrrrrraaaaaaaa” berkali-kali Liliyana berteriak memanggil hendra, hingga terdengar ke seluruh telinga penghuni kelas itu.
“Heeeeh kamu lagi Liliyana! Ada apa teriak-teriak? Ini bukan terminal.” Tegur Pak Ricky.
“Itu pak! Saya dari tadi panggil Hendra buat gabung ke kelompok saya tapi malah dia ngga nyahut. Dasar hendra budek!!!” jawab Liliyana ngotot.
“Oh jadi itu masalahnya. Hm. Ya sudah.”
“Hendra, gabung sama kelompoknya Liliyana!” perintah Pak Ricky. Hendra mengangguk dan akhirnya mau bergabung dengan Liliyana dan Vita.
“Oke semua sudah bergabung kan? Ya. Sekarang kalian boleh berdiskusi dan berbagi tugas”, komando Pak Ricky.
Semua siswapun bersemangat memusyawarahkan tugas ini. Kecuali kelompok Liliyana. Dari tadi hanya berdiam-diaman dan sibuk dengan aktifitas masing-masing, termasuk Liliyana yang cerewet. Biasanya Liliyana ngobrol dengan Vita, tapi kali ini Liliyana dicueki oleh Vita karena Vita asyik dengan ponsel genggamnya. Liliyana hanya melamun melihat kondisi ini, ia sesungguhnya sudah beberapa kali menelan ludah akibat mulutnya gatal ingin nyerocos.
“Woy ndra.” Liliyana mengakhiri keheningan dengan memancing Hendra untuk di ajak ngobrol. Hendra mendongakkan kepala yang sedaritadi ia tundukan .
Kurang dari 10 detik, Hendra tertunduk lagi dan mengacuhkan Liliyana.
“Heh belagu bener lo ndra?” tanya Liliyana nyolot.
“Lo.” jawab Hendra singkat, padat, dan datar.
“Kok gue? Huh emang susah yah ngomong sama orang aneh kaya lo.” cibir Liliyana.
“Emang.” Hendra membalas dengan nada serta muka yang datar. Liliyana menyerah menanggapi sikap dingin hendra.
“Ta vita, gue jangan dicuekin dong. Jahat bener lo!” Liliyana memandang vita. Vita hanya tersenyum dan kembali menjalani aktivitasnya bersama ponsel.
“Woy vitaaaaaa hendraaaaaa!!!! Kalian pada niat kelompokan sama gue nggak sih? Malah pada sibuk sendiri. Udah lah gue capek.” Liliyana memanyunkan bibir.
“Ngga” sahut Vita dan Hendra bersamaan. Tanpa ada komando atau perintah, wajah Liliyana langsung cemberut.
“Oke lah gue nyerah.” Ucap Liliyana pasrah.
‘TET TET TET’ bel pergantian jam berbunyi.
Pak Ricky memerintahkan tugas kelompok tadi diselesaikan dalam waktu 2 minggu.
“Selamat siang” pak Ricky mengakhri.
“Siang…” sahut seluruh siswa.
“Oke ndra, ta.. kita selesaikan ini lain waktu. Mungkin kalau ada waktu kalian ke rumah gue ngerjain tugas ini.”, perintah Liliyana.
“Hemmm” sahut Vita uring-uringan. Hendra tak menyahut sama sekali dan langsung menuju bangkunya tanpa permisi.
Satu buah teh botol sosro menemani Vita dan Liliyana di kantin sekolah. Mereka melepas semua kejenuhan selama di kelas tadi.
“Ta, lo nyadar ngga kalo Hendra itu aneh banget?” Liliyana menopangkan dagunya dengan kedua tangan. Ia memandang Vita berharap mendapat jawaban.
“Biasa aja tuh menurut gue. kenapa li? Lo suka ya?” celetuk Vita.
“Ish apaan sih lo ta. jangan sampe gue suka sama patung kaya gitu. Hih” Liliyana mencubit tangan Vita.
“Haha iya iya. Becanda. O iya, tugas pak Ricky tadi gimana sih? “ vita mengalihkan pembicaraan.
“Ya tugasnya Cuma begitu. Kita Cuma wawancara sama orang-orang. Terus bahasa dan dialek yang mereka pake itu kayak gimana. Ssetiap daerah sama atau gimana. Terus keunikannya. “ cerocos Liliyana.
“Oh gitu ya? Kok aku nggak tahu ya?” tanya vita menggaruk-garuk kepala.
“Makanya jangan main hape mulu. Hu!” jawab Liliyana sambil menoyorkan kepala Vita.
“Sial lo li! Terus kita ngerjainnya kapan? Di rumah lo kumpulnya? “tanya Vita
“Gue kapanpun bisa. Terserah lo sama hendra. Iya di rumah gue.” Liliyana mengakhiri pembicaraan lalu kembali ke kelas.

“Gue pulang duluan ya Li. Sori.” vita meninggalkan Liliyana sendiri berjalan di koridor kelas. Liliyana lagi-lagi kehilangan Vita untuk menjadi tebengan.
Liliyana melanjutkan jalannya kemudian terhenti oleh seorang laki-laki berbadan tegap hitam manis. Ia menabok bahu Liliyana. “Li, sori ya. Gue mau ada rapat penting. Kira-kira selesai sampai sore. Lo pulangnya mau gue anterin apa pulang sendiri? Kalo lo mau pulang sendiri, ya udah sana, biar nggak terlalu lama nunggu gue.” Jelas laki-laki hitam manis itu
“Gue nunggu lo aja wi. Gue ngga punya duit buat pulang. Jadi gue nunggu lo ya.” jawab Liliyana.
“Beneran? Kalo lama banget gimana?”
“Gue kepret lo. haha” liliyana mengibaskan tangan kanannya seperti hendak menyambar muka Owi.
“Haaha iya iya. Udah ya gue mau rapat. Tunggu gue.” Perintah owi. Liliyana melangkah ke gerbang sekolah. Duduk di kursi panjang di Halte depan sekolah menanti Owi.
Langit menghitam. Petir mulai menyambar-nyambar. Hujan turun seketika. Lumayan deras!
“Owi mana sih? Sumpah lama banget.” Liliyana melirik jam tangan yang melingkar ditangannya. Jarum pendek telah menunjuk di pertengahan angka 4 dan 5, sedang jarum jam panjang menunjuk angka 6. Ya, sekarang sudah jam setengah 5! Owi belum kunjung menemui Liliyana.
“Rapat berapa jam? Ngomongin apa sih Owi sampe lupa sama gue?”
Liliyana merasakan dingin yang luar biasa karena tiupan angin kencang. “Duh.. pake acara hujan angin lagi.” gerutu Liliyana. Kemudian dilipatnya kedua tangan ke depan dadanya.
Hati Liliyana begitu gusar, ia sama sekali tak betah berlama-lama duduk manis di Halte tersebut.
“Sumpah Aku begitu jenuh menunggu Owi di halte selama tiga jam. Hujan semakin lama bukannya semakin reda malah semakin deras. Kalau aku nekat hujan-hujan jalan kaki ke rumah sepertinya lebih enak daripada nunggu Owi yang lupa sama aku.
Dengan berat hati aku mengambil langkah menerobos derasnya hujan, tak peduli semuanya. Aku tak memikirkan jauh tidaknya berjalan ke rumah. Yang terpenting aku sampai ke rumah secepatnya.
Aku berlari menjauhi halte. Kurasakan dinginnya air hujan yang membasahi tubuhku.’
Tiba-tiba dari belakang, ada seseorang laki-laki berbadan tinggi putih dengan rambut yang acak-acakan dan mengenakan kaos oblong berwarna kuning dan celana pendek. Sepertinya wajah orang itu sudah tidak asing lagi dimataku. ‘Siapa dia?’
“Pakai ini.” Tawar laki-laki itu sembari menyodorkan payung.
Liliyana tercengang. Ia belum mampu melepaskan pandangannya pada laki-laki itu.
“Hei ini.” Laki-laki itu kembali menyodorkan sebuah payung hijau.
“hah?” jawab Liliyana kebingungan. Sementara hujan masih turun membasahi tubuh Liliyana.
“Iya. Jangan hujan-hujanan nanti sakit.” Kata-kata Laki-laki itu semakin membuat Liliyana seperti orang Linglung.
“Hendra? Apa-apaan ini? Nggak usah. Nggak perlu.” Celetuk Liliyana. Ia masih bingung dengan orang dihadapannya. ‘hendra. Iya hendra. Ngapain dia disini? Orang aneh bisa ngomong? Sebaik ini lagi ckckck’ Liliyana menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Udah pake aja ini. Lo mau sakit?”
“nggak.”
“Ya udah pake ini.” Hendra kembali menyodorkan payung.
“Tapi lo nanti yang sakit.”
“Engga” Hendra tersenyum manis. Benar-benar manis! Liliyana seakan terhipnotis dengan senyum maut Hendra. Baru pertama ini Liliyana melihat teman sekelasnya itu tersenyum. Ternyata begitu mempesona.
“heh lo kenapa?” Hendra mengangkat telapak tangannya ke atas dan ke bawah di depan muka Liliyana. Liliyana belum kunjung sadar juga dari lamunannya. Ia justru senyum-senyum sendiri.
“Lo gila ya?” tanya Hendra di telinga Liliyana. Sontak ia pun terbangun dari lamunan indah karena senyum Hendra.
“Sialan lo ngatain gue gila. Lo yang gila.” Cibir Liliyana sinis.
“Ini lo pake sana. Ngga usah ujan-ujanan kaya anak kecil aja!”
“Kalo gue make payung lo. ntar lo yang ujan-ujanan, kaya anak kecil aja!” balas Liliyana tak mau kalah.
Mendengar itu, Hendra langsung membuang payung yang digenggamnya.
“eh kok di buang sih?” tanya Liliyana penasaran.
“Bawel lo.” jawab Hendra melototkan mata sipitnya pada Liliyana. Liliyanapun balik memelototkan matanya yang juga sipit ke arah Hendra. Keduanya saling melotot dan lama-lama mata mereka yang tadinya lebar kini menyempit lagi. Mereka kini bukan saling melotot, tapi saling menatap.
‘Apa-apaan sih ini! Kok jadi gini? Aduh’ batin Liliyana.
Kedua tatapan mereka belum kunjung terlepas. Kaki hendra melangkah mendekati tubuh Liliyana. Ia menatap Liliyana lagi semakin tajam. Wajah hendra mendekat ke wajah Liliyana. Jarak wajah Hendra dan Liliyana dan Hendra hanya terpaut sepuluh senti. Nafas Hendra dapat dirasakan Liliyana benar.
Jantung Liliyana terpacu cepat. Kemungkinan hendra yang berjarak sangat dekat dengannya dapat mmerasakan detak Jantung Liliyana.
‘CUP’ Sebuah kecupan hangat mendarat di bibir Liliyana. Hendra mencium Liliyana. Hujan sore ini menjadi saksi bisu bibir Liliyana telah di sentuh bibir lembut makhluk seaneh Hendra.
Beberapa saat kemudian, Hendra melepaskan bibirnya yang tadi sempat menyentuh di bibir mungil Liliyana. Hendra terdiam. Liliyana juga terdiam. Hening suasana sesaat hingga Hendra mau memecah keheningan itu.
“Maaf gue lancang sama lo.” kata Hendra tertunduk
“i..iya..” jawab Liliyana gagap. Ia bingung dengan sikap Hendra.
Hendra kemudian pergi meninggalkan Liliyana, tapi Liliyana mencoba menghentikannya.
“Maksud lo apa ndra?” tanya Liliyana dengan muka mengharap jawaban.
“Engga.” Balas Hendra datar seperti saat di sekolah. Dan Hendra meninggalkan Liliyana sendiri.
“Aneh banget sih lo jadi orang!” Liliyana mulai emosi. Tapi hendra tak menggubrisnya sama sekali.
Liliyana mulai menjalani aktivitasnya lagi. Ia harus sekolah dengan nebeng Owi. Namun kali ini, hari ini, perasaan Liliyana sedikit aneh dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ia tampak lebih ceria dan berwarna. Di dalam kelas, biasanya kalau sedang pelajaran Liliyana selalu mengajak Vita bicara atau sekedar becanda. Tapi kali ini tidak. Liliyana selalu melamun, kadang senyum sendiri akibat ulah hendra kemarin sore. “Hendraaaa” ucap Liliyana lirih. Liliyana langsung melirik ke arah bangku pojok belakang sebelah kirinya. Ia menatap nanar wajah Hendra yang sore kemarin membuat hatinya tak karuan. Manis! Manis sekali Hendra. Liliyana baru menyadari hal ini. senyum hendra, mata hendra, dan semua yang dimiliki Hendra. semua Manis! Boleh di bilang hari ini Liliyana sama sekali tak memperhatikan pelajaran, melainkan hanya memperhatikan sosok Hendra. Hendra Setiawan!! Tapi di lain pihak, Hendra sama sekali tak membalas pandangan Liliyana, bahkan tadi pagi ia juga mengacuhkan sapaan Liliyana. Ia seperti waktu semula. Tak kenal dan tak peduli pada Liliyana. “Baru kali ini gue melihat Hendra seganteng ini. Apa memang Hendra dari dulu udah ganteng, cuma guenya aja kali ya yang nggak pernah merhatiin yah?. Hmm” Liliyana merenung sambil senyum-senyum. ‘tapi kok Hendra kayaknya nggak peduli sama gue? Kayaknya dia lupa sama kejadian sore kemarin. Padahal gue berharap lebih sama lo ndra. Lo aneh banget.’ batin Liliyana “Li, kok lo dari tadi bengong terus? Lo kenapa? Sakit? Apa lo gila?” tanya Vita kebingungan menanggapi sahabatnya itu.
“eh eh apa? lo ngatain gue gila? sialan lo. gue gak papa!” tandas Liliyana kejam.
“haha. Apa jangan-jangan lo lagi jatuh cinta ya? Gue liat lo dari tadi juga ngeliatin Hendra mulu. Yeayyy ketauan lo suka sama hendra. haha nggak nyangka” Ledek Vita sambil menggeleng-gelengkan kepala
“tau ah” wajah Liliyana memerah dan bibirnya manyum 5 senti.
Bel pulang berbunyi, semua siswa bergegas keluar kelas dengan penuh semangat walaupun di luar hujan begitu lebat. Kecuali Liliyana. Ia sama sekali tak berniat meninggalkan kelas. Ia ingin terus disitu. Sendiri. “Hendra.. Gue kira sikap lo bakal berubah. Tapi lo tetep aja nyuekin gue. Gak mau ngobrol sama gue. Tetep aja aneh!” gumam Liliyana
“Lo nggak tau gimana jantung ini di buat copot gara-gara lo ndra. Ah sial lo ndra.” Liliyana kemudian meletakkan kepalanya pada meja. Ia masih mengingat-ingat semua tentang Hendra,. Iya hendra!
“Nunggu siapa?” suara berat membuat jantung Liliyana lompat. Ia kaget dan langsung mendongakkan kepala yang sedari tadi ia tempelkan di meja.
“Hendra? Ngapain lo? Nggak usah ganggu gue lagi. Nggak usah banyak tingkah. Nggak usah aneh-aneh lagi. Udah cukup lo buat gue nggak tidur semaleman!” bentak Liliyana. Hendra hanya menunduk sedikit takut juga sedikit nahan tawa.
“Haha ternyata omongan mas Owi bener juga. Lo kalo lagi marah emang cantik banget.” goda Hendra membuat hati Liliyana semakin sesak.
“Ha? Lo kenal Owi?” tanya Liliyana dengan nafas yang tersisa. “sepupu gue”
“oh.” jawaban singkat Liliyana memutus pembicaraanya dengan Hendra, hingga suasana hening sesaat. Keduanya diam.
“Liliyana, lo marah sama gue?” suara Hendra memecah keheningan.Liliyana hanya diam, ia malas menanggapi Hendra. Hendra menunggu jawaban itu cukup lama, sampai ia tak sabar dan Tangan Hendra kemudian meraih tubuh Liliyana. Liliyana hanyut di pelukkan Hendra.
“Tanpa lo jawab, Gue tau lo itu marah, gue emang orang paling aneh di mata lo, iya gue salah. Maaf li” kata Hendra masih dalam pelukkan Liliyana. Liliyana hanya menahan nafas, jantungnya berpacu sangat cepat.
“Iya lo aneh. nggak seharusnya sikap lo seacuh itu sama gue. Kemarin lo bikin hari gue nggak karuan, tapi hari ini lo seolah nggak inget apapun tentang kemarin. Nggak inget apapun sama gue! tadi pagi aja gue sapa, lo sama sekali nggak nanggepin, gue coba ngomong sama lo, nggak di gubris” kata Liliyana.
Hendra melepaskan pelukannya
“Gue itu sayang sama lo, Li.” Hendra memegang kepala Liliyana
Liliyana tercengang. Wajahnya benar-benar memerah.
“Te.. terus kenapa sikap lo kaya gitu ke gue?” tanya Liliyana
“Karena gue nggak mau lo tau perasaan gue. Gue takut lo benci sama gue dan ngejauhin gue.” Jelas hendra
“Hendraa..” mulut Liliyana memanggil Hendra halus. Hendra langsung membentangkan kedua tangannya, Liliyana seolah tau apa yang di maksud Hendra. Ia merengkuh tubuh Hendra dan memeluknya erat-erat. Keduanya hanyut dalam pelukan.
Di luar kelas, Hujan mereda hanya tinggal gerimis kecil. Hendra melepaskan pelukkannya lalu berjalan kehalaman sekolah. “Liliyana sini” Hendra mencoba memanggil Liliyana, Liliyana langsung mendekatinya “lihat deh itu.” Hendra menunjuk ke langit.
“Pelangi?” Liliyana mengerutkan kening.
“Iya pelangi. Cantik. Seperti kamu.” Hendra kembali menatap liliyana. Wajah Liliyana tampak berseri.
“Gombal.” Liliyana tersipu malu mendengar perkataan Hendra.
“Bener aku nggak gombal. Kamu itu seperti pelangi yang indah dan mampu mengindahkan dunia.”
“Kalau aku pelangi, kamu itu hujan. Tanpa kamu, aku nggak bakal indah dan tersenyum. Tanpa kamu aku kosong. Aku tak ada.” Balas Liliyana mengikuti Hendra dengan panggilan AKU KAMU
“Hujan tanpa pelangi juga kosong. Tak bermakna. Sepert aku tanpa kamu. Hambar!” Hendra tersenyum. Liliyana benar-benar terpesona dengan lelaki dihadapannya itu yang selama ini ia anggap manusia teraneh.
“Hujan dan Pelangi…”
“Harus bersatu untuk melihat indahnya dunia.”
“Kamu dan aku…”
“Harus bersatu untuk menatap indahnya cinta. Aku sayang kamu Li..” Hendra memegang tangan Liliyana.
“Kamu mau nggak menatap indahnya cinta? Bersamaku..” tanya Hendra serius. Hati Liliyana merekah ruah. Senang sekaligus tersihir dengan Hendra. Ia hanya membalasnya dengan seulas senyum dan anggukan mantap.
Hendra merentangkan kedua tangannya. Liliyana seperti biasa mengerti maksud Hendra. Ia mendekat dan…
Perut hendra tonjok tangan kanan Liliyana. “Hahahahaahahah…” gelak tawa Liliyana pecah.
“Sakit tau sayang… “ keluh Hendra manja. “ih banci lo ndra haha.”, Liliyana tambah geli menertawakan hendra. Melihat gadis yang ia sayangi tertawa, Hendra seolah tak mau kalah dan ikut tertwawa.
Langkah kaki laki-laki berbadan tegap hitam manis menghampiri Hendra dan Liliyana.
“Cieeee udah pacaran cie sama hendra. Ya udah gue tinggal ya. lo pulang sendiri aja, takut gue ganggu. Haha” , lanjutnya
“ih owi… buat yang terakhir aja gue nebeng lo pulang. Tega lo ninggalin gue yang gak punya uang.”, rayu Liliyana dengan muka memelas. Hendra hanya senyum-senyum melihat kelakuan mereka.
“oke lah. Karena lo manusia, motor gue nerima tebengan lo.”, jawab Owi mengiyakan.
“Hendra sini. Nih. Ntar lo balik ya! sana lo anter sahabat gue itu.” Owi menyerahkan kunci motornya ke Hendra.
“Hah?” Liliyana ternganga bingung.
“Ayo sayang naik.. aku anterin kamu pulang.”, ajak Hendra
“emang lo tau rumah gue?” tanya Liliyana.
“Udah cepet naik.. Oya makasih mas motornya. Hehe”
“Iya sama-sama. Udah sana cepet. Hati-hati. Jangan apa-apain sahabat gue loh! Awas kalo ada apa-apa sama dia. Gue remek-remek badan lo ndra!” Owi menginstruksi Hendra panjang lebar. Kemudian Hendra mengegas motor itu dan berlalu meninggalkan Owi.
“Hendra, berkat kamu aku merasakan bahagia sebahagia hari ini.”
“Liliyana, karena kamu aku mampu tersenyum tulus setulus cintaku kepadamu”
“Aku butuh Kamu untuk menatap indahnya dunia. Begitu juga kamu, kamu butuh aku untuk melihat manisnya dunia dengan warna indah yang mampu menutup semua tangismu …” HENDRA – LILIYANA :)

Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/rain-and-rainbow.html
Cerpen Karangan: Aisyah Hudabiyah

Komentar

Postingan Populer